Posted by Unknown On 19.16


Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi, telah menjadikan dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan. Antara satu belahan dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau dan dilihat dalam waktu yang relatif singkat.
Itulah globalisasi, yang di dalamnya membawa berbagai implikasi yang luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. Implikasi nyata dari adanya globalisasi adalah terjadinya perpacuan manusia yang mengglobal. Seorang individu dalam berkarya tidak hanya dituntut untuk mampu berkiprah dan berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional semata, namun lebih jauh harus dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi global, yang memang di dalamnya berisi sejumlah tantangan dan peluang yang begitu ketat.
Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan, bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah negara yang beberapa tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun, dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah setempat untuk mengkampanyekan pentingnya pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka dalam waktu yang relatif singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
Rasanya tak perlu malu, kalau kita belajar menimba pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber daya manusianya, yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
Suka atau tidak suka, memang harus diakui bahwa semasa rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik itu telah menempatkan profesi guru berada pada posisi yang termarjinalkan dari keseluruhan sistem pembangunan. Akibatnya, dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, karena selalu dicekoki oleh berbagai aturan yang sangat mengikat dan kaku. Kebebasan mengaktulisasikan diri untuk menjadi seorang profesional terhambat dan guru hanya berperan sebagai tenaga juru belaka, yang bertugas menyampaikan apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun.
Terlebih lagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar target materi, seringkali terjadi pemaksaan penjejalan materi kepada siswa. Mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan guru, menjadi urusan belakangan.
Beban lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik adalah yang memiliki administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis, yang penting administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang tertulis dalam administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak belakang.
Hal yang mendasar dan menjadi persoalan utama guru adalah menyangkut kesejahteraannya. Tunjangan fungsional yang diskriminatif dibandingkan dengan profesi lain telah menimbulkan rasa cemburu di kalangan guru. Selain itu, berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan yang tidak masuk akal seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan pangkat yang berbelit-belit dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang tidak jelas juntrungnya, kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif. Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak masuk kelas dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih dianggapnya wajar. Pemberian evaluasi kepada siswa berjalan seadanya, manakala hasil ulangan jeblok pun, tidak perlu lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi kegagalan, apalagi berusaha mencari pengentasannya. Bahkan berdampak pula terhadap relasi antara guru dengan siswa yang terasa senjang. Guru tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik tentang kondisi fisik, kesehatan, kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan maupun harapan-harapannya. Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau ngantuk di kelas tetap akan dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu diberi sanksi.
Hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan saling asuh. Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama sekali tidak lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena keduanya sama-sama untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari kompensasi dalam bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja lainnya, karena memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam akibat dari kegagalan dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya. Harapan untuk menemukan jati diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh pengetahuan dan membangun kehidupan sama sekali tidak didapatkannya.
Fenomena yang mencerminkan carut marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan dengan hadirnya gerakan reformasi di tengah-tengan kehidupan kita, maka perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Seyogyanya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang dibakukan, seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata.
Berbagai bentuk ganjalan yang berkaitan dengan kesejahteraan guru hanya bisa dilakukan melalui komitmen dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk menempatkan guru sebagai profesi yang berhak mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang layak. Pemberian tunjangan tidak dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga tidak terjadi lagi berbagai kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan guru itu sendiri, guru dengan dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
Berbagai bentuk pemerasan terhadap guru, dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera dihentikan. Birokrat yang masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak diberi tempat lagi, karena bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup menunjukkan sikap kritis dan keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik bagi dirinya.
Akhirnya, sejalan dengan upaya pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup menjadi pelopor pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki dan wawasan sanggup berkiprah secara global.