Perkembangan ekologis telah disebut sebagai “pertemuan antara biologi perkembangan dan dunia nyata” (Gilbert, 2001); dengan kata lain, studi terhadap perkembangan sebagaimana terjadi di alam dan akibat ekologisnya. Salah satu wilayah kunci bidang ini adalah plastisitas fenotipik : ekspresi fenotipik yang tergantung lingkungan (Bradshaw 1965; Schlichting 1986; Sultan 1987, 1995, 2000; Scheiner 1993; Travis 1994; Schlichting dan Pigliucci 1998; Pigliucci 2001). Untuk menentukan pola plastisitas individual, genotipe di klon atau di kawinkan dan replikasi genetika dibesarkan dalam seperangkat lingkungan terkendali.
Sifat yang dipelajari kemudian dapat diukur dalam tiap lingkungan untuk mencirikan pola respon fenotipik (di istilahkan sebagai norma reaksi) untuk tiap individu genetik. Studi plastisitas bermakna secara ekologis dirancang untuk menguji genotipe dalam sebuah jangkauan lingkungan berdasarkan variasi yang terjadi secara alami dan berfokus pada ciri fenotipik yang berfungsi penting dan karenanya kebugaran dalam lingkungan tersebut. Kekayaan terbesar data plastisitas demikian tersedia pada tanaman, yang secara umum dipandang ideal untuk studi demikian karena mereka siap menghasilkan replikat genotipik dan dapat ditumbuhkan dalam beragam lingkungan eksperimental. Walau begitu, semua organisme menunjukkan derajat respon fenotipe terhadap lingkungan. Studi terbaru telah mendokumentasikan plastisitas perkembangan dan juga plastisitas fisiologis maupun perilaku pada amfibi, reptil, burung, invertebrata laut dan air tawar, serangga, mamalia dan bahkan lumut kerak (referensi dalam Sultan 2000; Gilbert 2001; lihat juga Barata et al. 2001; Griffith-Simon dan Sheldon 2001; Hammond et al. 2001; Negovetic dan Jokela 2001; Jordan dan Snell 2002; Relyea 2002).
Walau ahli biologi selalu sadar kalau perkembangan organisme berbeda dalam kondisi yang berbeda ppula, efek lingkungan pada fenotipe sebelumnya dipandang sebagai “derau” tanpa informasi yang mengaburkan ekspresi “Sejati” dari genotipe (Allen 1979; Sultan 1992; Schlichting dan Pigliucci 1998). Pada tanaman, misalnya, individu yang menghadapi tingkat sumber daya rendah tidak dapat dihindari akan tumbuh lebih sedikit – faktanya, efek ketersediaan sumber daya pada fenotipe tanaman begitu luas sehingga ahli botani neo-Darwinian sering frustasi dalam usaha mereka memahami adaptasi lokal berbasis genetik lewat “Derau lingkungan” ini (Stebbins 1980; Pianka 1988). Hal ini membuat mereka melihat pada aspek yang jauh lebih menarik dari respon plastis pada variasi lingkungan : Fakta kalau respon fenotipik pada lingkungan berbeda dapat juga memuat penyetelan perkembangan, fisiologis dan reproduktif berbeda yang memperkaya fungsi dalam lingkungan tersebut (Bradshaw 1965; Travis 1994; Schmitt et al. 1999; Sultan 2000; dan referensinya). Kapasitas untuk respon lingkungan yang pantas secara fungsional dan spesifik ini disebut plastisitas adaptif, dan berbeda dari efek yang tidak dapat dihindari dari keterbatasan sumber daya dan lingkungan sub optimal lainnya pada ekspresi fenotipik (Sultan 1995).
Baik aspek yang tak terhindari maupun yang adaptif dari plastisitas perkembangan adalah mendasar bagi perkembangan ekologis, karena mereka mempengaruhi keberhasilan organisme dalam konteks alami. Walau begitu, plastisitas adaptif fungsional adalah khusus karena ia mengizinkan genotipe individual untuk berhasil tumbuh dan bereproduksi dalam beberapa lingkungan yang berbeda. Akibatnya, plastisitas demikian dapat berperan penting baik dalam distribusi ekologis organisme maupun pola keanekaragaman evolusi mereka. Taksa yang memuat genotipe plastis secara adaptif dapat menghuni beragam kondisi lingkungan; banyak spesies generalis yang tersebar luas menunjukkan sifat ini (Baker 1974; Oliva et al. 1993). Plastisitas adaptif dapat pula menyumbang secara khusus pada invasifitas spesies dengan memungkinkan kolonisasi cepat beragam habitat baru tanpa perlu melakukan seleksi lokal (Williams et al. 1995). Akhirnya, plastisitas individual dapat mempengaruhi pola keanekaragaman evolusi pada tahap populasi (dan puncaknya pada spesies) dengan mencegah divergensi selektif dalam lokasi yang berbeda secara lingkungan (Sultan dan Spencer 2002).
SISTEM POLYGONIUM : STUDI KASUS
Seperti produk evolusi lainnya, norma reaksi genotipik dibentuk oleh sejarah filogenetik dan kendala genetik (Scheiner 1993; DeWitt et al. 1998; Schlichting and Pigliucci 1998). Akibatnya, spesies dan bahkan populasi dapat menunjukkan pola plastisitas individu yang berbeda dan kapasitas yang berbeda pula dalam respon lingkungan adaptif. Kita baru saja mulai belajar bagaimana respon plastis dapat berbeda pada individual dari taksa terkait dan memahami konsekuensi ekologis dan berarti evolusioner dari perbedaan ini. Disini saya menyajikan sebuah studi kasus plastisitas fenotipik dalam sekelompok spesies tanaman tahunan kon-generik sebagai contoh pendekatan perkembangan ekologis dan pandangan yang diberikannya pada organisme di “dunia nyata”. Keempat spesies dalam sistem ini, anggota dari sebuah bagian monofiletik dalam genus Polygonum, diperkenalkan di Amerika Utara dimana mereka memiliki jangkauan geografis bersama selama banyak generasi (Sultan 2001 dan referensinya). Dalam daerah bersama ini, Polygonum persicaria ditemukan dalam beraneka ragam habitat, sementara P. lapathifolium, P. cespitosum, dan P. hydropiper menghuni jangkauan yang terbatas oleh kondisi cahaya, kelembaban tanah dan/atau nutrisi makro di lapangan (lihat Sultan et al. 1998 untuk data distribusi lengkap). Saya menarik hasil dari sederetan percobaan pertumbuhan terkendali pada genotipe klon dan anakan dari spesies ini, dirancang untuk menemukan pola plastisitas individual untuk aspek penting secara ekologis dari perkembangan pada faktor lingkungan kunci ini. Ada dua pandangan dari studi kasus ini. pertama, data plastisitas menawarkan pandangan yang lebih lengkap dan kompleks dari perkembangan dengan mengungkapkan beragam kapasitas respon lingkungan dari genotipe individual. Kedua, mereka menunjukkan bagaimana pola respon individual ini mempengaruhi persebaran lingkungan spesies di lapangan dan dengan demikian kelebaran ekologis relatif mereka.
PLASTISITAS ALOKASIONAL
Salah satu aspek penting secara ekologis dan labil secara lingkungan dari perkembangan tanaman adalah proporsi biomassa yang dialokasikan untuk beragam jaringan berbeda secara fungsional seperti akar, daun, batang, dan struktur reproduksi (Bazzaz 1996). Dengan menyetel proporsi jaringan daun pemanen cahaya versus jaringan akar pengumpul mineral dan air, plastisitas alokasional ini dapat memungkinkan tanaman secara adaptif memperbesar akses pada sumber daya tertentu yang terbatas. Sebagai contoh, dalam merespon pada ketersediaan cahaya yang sedikit, tanaman yang identik secara genetik dari P. persicaria secara tajam meningkatkan proporsi jaringan mereka yang dialokasikan ke daun (Gbr. 1a), secara efektif memaksimalkan luas permukaan daun untuk menangkap foton dalam kondisi kepadatan fluks foton yang rendah (Chapin et al. 1987). Dengan demikian, walaupun tanaman tumbuh pada tingkat cahaya yang moderat dan sangat rendah menghasilkan lebih sedikit biomassa total, ingsutan perkembangan ini meningkatkan efektivitas fotosintetis pada tiap gram biomassa tersebut sehingga menghasilkan pertumbuhan dan reproduksi yang berhasil walaupun cahaya terbatas (Gross 1989; Sultan dan Bazzaz 1993). Begitu pula, kapasitas tipe plastisitas alokasional ini dapat memberikan kemampuan spesies untuk tinggal di beragam habitat cahaya di lapangan dari lokasi terbuka hingga berbayang (Sultan et al. 1998). Sebaliknya, P. hydropiper, sebuah spesies yang terbatas secara konsisten pada daerah cahaya tinggi, menunjukkan plastisitas jauh lebih terbatas pada sifat adaptif bayangan ini. Dalam sebuah eksperimen komparatif menggunakan jalur anakan yang ditarik dari sebuah sampel dari lima populasi dari tiap spesies, tanaman P. hydropiper tumbuh pada cahaya rendah meningkatkan alokasi daun 52%, dibandingkan dengan peningkatan rata-rata 115% pada tanaman P. persicaria (Gbr. 1b). Perhatikan bahwa alokasi proporsional pada daun dalam spesies-spesies ini identik pada kondisi cahaya tinggi : Perbedaan antara spesies bukan dalam alokasi daun mereka secara umum namun kapasitas respon plastis yang pantas pada tantangan tertentu dari intensitas cahaya rendah. Adalah penting untuk dicatat kalau perubahan alokasi daun ini bukanlah semacam fenotipe terinduksi stress yang diperumum tapi terjadi secara spesifik dalam merespon cahaya rendah. Sebagai contoh, tanaman dari kedua spesies merespon pada tingkat makronutrisi rendah dengan sedikit menurunkan alokasi daun. Ini tepat karena spesifisitas sumber daya mereka yang mempolakan plastisitas untuk sifat penting secara fungsional yang dapat membentuk distribusi lingkungan dari spesies dengan cara yang sangat spesifik.
Aspek penting kedua secara ekologis dari plastisitas alokasional pada tanaman adalah peningkatan alokasi biomassa pada jaringan akar dalam merespon keterbatasan sumber daya tanah, seperti air atau nutrisi mineral. Dengan meningkatkan ukuran relatif sistem akar dan dengan demikian luas permukaan penyerapan, tanaman dapat memperkuat ketersediaan sumber daya tanah ini (Fitter 1994; Rodrigues et al. 1995). Spesies tahunan Polygonum juga berbeda dalam aspek plastisitas adaptif ini dalam hal hubungannya dengan distribusi lapangan. Bell dan Sultan (1999) menguji respon alokasi pada perlakuan kelembaban tanah eksperimental pada genotipe anakan dari P. persicaria, sebuah generalis kelembaban yang muncul pada tanah yang sangat kering hingga tanah yang dibanjiri, dan P. cespitosum, sebuah spesies yang berdistribusi bayangan terbatas pada tanah lembab (Sultan et al. 1998). Tanaman pada kedua spesies meningkatkan alokasi biomassa proporsional ke akar dalam tanah memungkinkan untuk mengeringkan, dibandingkan tanaman dalam perlakuan kelembaban yang konstan (Gbr. 2). Sekali lagi, walau begitu, tanaman yang lebih toleran secara lingkungan P. persicaria menunjukkan plastisitas alokasional yang lebih besar, dalam kasus ini meningkatkan alokasi akar secara signifikan pada perlakuan tanah kering (peningkatan 58% vs. 48% ; Gbr. 2).
ASPEK DINAMIS RESPON PLASTIS
Eksperimen ini juga memeriksa aspek yang lebih halus namun sama pentingnya dari respon plastis pada kondisi tanah : kemampuan tanaman untuk mendistribusi ulang sistem akar mereka secara spasial (lewat penyetelan jumlah secara lokal) untuk menjejak perubahan seiring waktu dalam alokasi sumber daya tanah dan karenanya memaksimalkan pengumpulan makanan di tanah secara efektif (Caldwell 1994 dan referensinya). Dalam kondisi yang beragam secara temporal yang menuntut jenis respon plastis dinamis ini, penentuan waktu dan juga besarnya respon bersifat kritis. Karena respon adaptif cepat pada perubahan lingkungan mendasar bagi perubahan ini di alam, perbedaan dalam aspek dinamis plastisitas perkembangan dapat mempengaruhi distribusi spesies secara ekologis lewat cara yang penting.
Pada studi Polygonum, kami menguji respon akar dinamis pada perubahan spasial dalam ketersediaan embun tanah dengan menumbuhkan tanaman replikat anakan dari kedua spesies dalam kontainer Plexiglas datar yang memungkinkan kami memonitor distribusi spasial akar dalam beragam lapisan tanah sepanjang waktu (Bell dan Sultan 1999). Dalam satu perlakuan, pada awalnya lapisan tanah atas yang lembab dibiarkan menjadi semakin kering, sementara kelembaban dipasok hanya pada lapisan paling bawah. Dalam merespon perubahan dalam lokasi air yang tersedia ini, tanaman P. persicaria dengan cepat dan terus mengirim akarnya ke lapisan tanah bawah yang lembab dan semakin mengurangi proporsi sistem akar mereka pada lapisan atas yang kering (Gbr. 3). Tanaman Polygonum cespitosum menunjukkan tipe penyebaran adaptif yang sama, namun lebih lambat dan kurang jelas (Gbr. 3). Sebagai hasilnya, setelah 8 minggu pertumbuhan dalam perlakuan tanah kering-bawah ini, tanaman P. persicaria telah mengirim rata-rata 65% sistem akar mereka ke lapisan tanah terbawah dimana air tetap tersedia, dibandingkan dengan 44% pada P. cespitosum (Gbr. 3). Tanaman P. persicaria menunjukkan sebuah kapasitas pengiriman cepat akar yang sama untuk melacak perubahan spasial dalam ketersedian sumber daya tanah kritis kedua, oksigen, dalam merespon pada pembanjiran tanah. Dalam kasus ini, individual P. persicaria dengan cepat dan dramatis meningkatkan pengiriman akar pada lapisan antarmuka tanah-udara, sebuah cara kunci tanaman yang dibanjiri untuk mempertahankan pasokan oksigen saat pori-pori tanah terisi air (Etherington 1984; Blom and Voesenek 1996). Tanaman P. cespitosum menunjukkan pengiriman yang lebih lambat dan kurang jelas pada permukaan tanah dalam merespon pembanjiran dan menderita 40% pengurangan pertumbuhan total dibandingkan dengan hanya 10% pengurangan pada tanaman P. persicaria yang dibanjiri (Bell dan Sultan 1999). Ingat bahwa di alam, hanya P. persicaria yang menghuni lokasi yang menjadi subjek banjir maupun kekeringan (Sultan et al. 1998). Karenanya, perbedaan spesies ini dalam penentuan waktu respon plastis penting secara ekologis, dan juga besaran respon tersebut, dapat mempengaruhi toleransi lingkungan mereka dan karenanya distribusi real mereka di lapangan.
Secara umum, perbedaan dalam penentuan waktu respon perkembangan plastis dapat mempengaruhi persebaran ekologis dalam cara yang penting. Sebagai contoh, sebuah untai intoleran-banjir dari padi panen ditemukan berbeda dengan leluhur liar toleran banjirnya bukan dalam kemampuannya untuk secara adaptif meninggi dalam respon pada tenggelamnya pucuk, seperti dianggap sebelumnya, namun dalam waktu tunda peninggian setelah rangsangan penenggelaman awal. dalam genotipe padi panen, pucuk meninggi sama besar, namun ia melakukannya terlalu lama untuk memastikan kelangsungan hidup saat banjir terjadi di awal siklus kehidupan (Eiguchi et al. 1993). Penentuan waktu peninggian pucuk dalam merespon pada penaungan juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kebugaran tanaman, tergantung pada identitas dan karakteristik peninggian dari spesies yang muncul bersama berkompetisi untuk cahaya (Weinig 2000). Secara umum, saat kondisi lingkungan bergejolak tak teramalkan, taksa yang menunjukkan waktu tunda yang panjang untuk sifat plastis yang penting secara fungsional akan tidak mampu secara akurat mencocokkan respon mereka dengan permintaan lingkungan (Kingsolver and Huey 1998; Tufto 2000).
Spesies dapat pula berbeda dalam derajat dimana individual merubah penentuan waktu ontogenetik dalam merespon kondisi lingkungan, langsung mempengaruhi keberhasilan fungsional dan reproduksi (lihat Plastisitas Reproduktif dan Lintas Generasi, dibawah).
PLASTISITAS MORFOLOGIS
Sebagai tambahan pada alokasi proporsional dan respon perkembangan dinamis, tanaman menunjukkan plastisitas pada sejumlah sifat morfologis, seperti ukuran dan struktur organ. Salah satu contoh yang penting secara ekologis adalah ukuran daun yang dihasilkan dalam kondisi cahaya yang berbeda. Dengan ketersediaan cahaya yang menurun tidak dapat dihindari mengurangi jumlah total daun yang dapat dihasilkan tanaman, respon adaptif kedua pada cahaya rendah (bersama degnan peningkatan alokasi biomassa daun proporsional) adalah membuat daun individual sebesar mungkin dalam batas pertumbuhan tersebut untuk memaksimalkan luas permukaan penangkapan cahaya. Spesies Polygonum berbeda dalam aspek plastisitas ini pula (Gbr. 4) : pada P. hydropiper, sebuah spesies yang dikeluarkan di alam dari lokasi berbayang, individual yang tumbuh di bayangan secara maladaptif mengurangi ukuran daunnya 40% dibandingkan dengan tanaman dibawah sinar matahari penuh, sementara individual yang hidup dibawah cahaya dari tanaman yang tersebar luas P. persicaria mempertahankan ekuivalensi dekat ukuran daun (secara statistik penurunan ukuran tidak signifikan dari cahaya tinggi ke rendah; Gbr. 4). Spesies yang tinggal di bawah bayangan, P. cespitosum, menunjukkan respon plastis yang sepenuhnya berbeda: Saat ditumbuhkan dalam cahaya rendah, tanaman ini meningkatkan ukuran daun hingga hampir 70% (Gbr. 4). Dalam kasus ini, spesies kongenerik berbeda dalam arah dan besaran respon plastis, sebagaimana perbedaannya dalam distribusi lingkungan.
Sebagai tambahan pada penyetelan spesifik spesies dalam ukuran daun, tanaman berbayang juga menunjukkan plastisitas pengembangan pada ketebalan daun, mencerminkan perubahan anatomis dan ultrastruktur yang memperbesar efisiensi penangkapan cahaya dari jaringan daun dalam kondisi kepadatan fluks foton rendah (referensi dalam Sultan dan Bazzaz 1993; Ryser dan Eek 2000). Sungguh, peningkatan induksi bayangan dalam daerah spesifik daun adalah salah satu aspek paling terkenal dan universal dari plastisitas morfogenetik tanaman (Björkman 1980; Fitter dan Hay 2002).
Sebagai contoh, genotipe individual dari dua populasi lapangan P. persicaria meningkatkan luas daun spesifik hampir dua kali lipat pada cahaya moderat dan 2.5 hingga 3 kali lipat pada cahaya yang sangat rendah, relatif dengan daun yang jauh lebih tebal yang dihasilkan pada matahari penuh (Sultan dan Bazzaz 1993). Perubahan yang sama dramatisnya dalam struktur daun juga ditampilkan oleh individu berbayang P. cespitosum, P. hydropiper, dan P. lapathifolium (S. E. Sultan dan A. M. Wilczek, data tidak dipublikasikan), menunjukkan kalau aspek kritis plastisitas secara fungsional ini dapat dimiliki pada spesies yang berbeda dalam sejumlah aspek lain respon perkembangan.
Tipe analogi plastisitas morfogenetik terjadi pada sistem akar. Tanaman dapat menurunkan diameter akar saat tumbuh dalam kondisi kelembaban atau nutrisi terbatas, yang secara efektif meningkatkan panjang dan dengan demikian luas permukaan akar untuk asupan sumber daya per gram jaringan yang di investasi (Fitter dan Hay 2002; Ryser dan Eek 2000). Sistem akar dari tanaman yang dibanjiri menunjukkan salah satu dari beberapa penyetelan plastis adaptif, termasuk produksi sistem akar superfisial sangat halus yang berada pada antar muka tanah-udara (Blom dan Voesenek 1996) dan pembentukan jaringan aerenkim yang memuat lacunae besar berisi udara yang memungkinkan oksigen mencapai bagian tenggelam tanaman (Blom et al. 1994). Plastisitas morfologis pada organ tanaman dengan demikian mencerminkan perubahan plastis pada sifat anatomis yang ada di baliknya (Dubé dan Morisset 1996; Cordell et al. 1998). Pada level keseluruhan tanaman, perubahan terinduksi lingkungan pada inisiasi meristem dan nasib, begitu juga ukuran dan struktur organ dan cabang, dapat membawa pada perubahan plastis dalam arsitektur (Wu dan Stettler 1998; Huber et al. 1999).
PLASTISITAS REPRODUKSI DAN LINTAS GENERASI
Sebagai tambahan pada aspek plastisitas yang penting secara fungsional, persebaran ekologis dipengaruhi oleh penyetelan perkembangan sifat yang secara langsung mempengaruhi keberhasilan reproduksi dalam beragam lingkungan. Sifat ini termasuk penentuan waktu reproduksi, alokasi biomassa untuk reproduksi, hasil reproduksi total, dan ukuran dan kualitas keturunan. Perbedaan dalam aspek plastisitas ini mempengaruhi kemampuan beragam taksa untuk mempertahankan reproduksi dalam kondisi tertekan dalam sumber daya yang minim dan/atau untuk memaksimalkan hasil reproduksi dalam kondisi menguntungkan, kedua unsur penting dalam kelebaran ekologis (Ford dan Siegal 1989; Travis 1994; Sultan 2001). Kami menguju aspek terkait kebugaran plastisitas perkembangan ini pada sistem Polygonum lewat sebuah eksperimen multifaktor yang besar, dimana replikat tiap jalur anakan dari keempat spesies ditumbuhkan dalam semua kombinasi cahaya tinggi dan rendah, makronutrisi melimpah dan minim, dan tanah kering, lembab dan banjir. Seperti dengan sifat fungsional yang dibahas di atas, spesies Polygonum berbeda dalam pola plastisitas reproduktif yang dapat menjelaskan distribusi lingkungan mereka yang kontras.
Dengan melihat pada penentuan waktu reproduksi, spesies Polygonum berbeda dalam keluasan dimana tanaman menunda reproduksi saat dihadapkan pada tekanan lingkungan tertentu, dibandingkan dengan tanaman dalam kondisi menguntungkan. Spesies yang menunjukkan penundaan terinduksi stress tersebut dapat tidak mampu mempertahankan populasi di habitat dimana kondisi stress tersebut terjadi. Sebagai contoh, tanaman P. lapathifolium (sebuah spesies yang tidak muncul dalam habitat berbayang) menunjukkan penundaan yang sangat panjang dan akibatnya reproduksi yang sangat menurun dalam perlakuan cahaya rendah, dibandingkan dengan kongener yang toleran bayangan yang mempertahankan reproduksi cepat walaupun ketersediaan cahaya terbatas (Sultan 2001). Begitu juga, dalam spesies tertentu yang diinduksi secara lingkungan merubah penentuan waktu reproduksi bersifat adaptif, seperti pada kasus tanaman Mimulus yang berbunga lebih awal saat mendapat stress (Galloway 1995). Plastisitas ontogenetik dapat pula memuat perubahan adaptif dalam ekspresi seks : Sebagai contoh, tanaman Solanum hirtum menyetel proporsi staminat (jantan fungsional) versus bunga hermafrodit tergantung pada status sumber daya mereka (Diggle 1994).
Plastisitas dalam hasil reproduksi total mencerminkan pola respon lingkungan organisme dalam sejumlah karakter. Dalam beberapa spesies, tanaman dalam kondisi pertumbuhan yang buruk dapat meningkatkan alokasi proporsional pada reproduksi untuk mempertahankan tingkat hasil reproduksi walaupun harus mengurangi biomassa total. Data Polygonum menunjukkan kalau tipe respon perkembangan kompensasi ini dapat berbeda antar spesies (Sultan 2001 dan referensinya).
Walau pada batas tertentu pengaruh negatif stress lingkungan pada reproduksi total tidak dapat dihindari, besaran efek negatif tersebut, dan keluasan dimana mereka dapat dihindari keseluruhannya, akan tergantung pada beberapa aspek plastisitas adaptif sepertinya beragam tergantung spesies : respon pada sifat fungsional yang mempengaruhi pertumbuhan dan biomassa total tanaman, bersama dengan perubahan positif versus negatif dalam alokasi reproduktif.
Sungguh, hasil dari eksperimen multifaktorial Polygonum mengungkapkan perbedaan kompleks dan idiosinkratik dalam plastisitas untuk hasil reproduktif (diukur sebagai biomassa total achenes, buah berbiji tunggal). Keempat spesies berbeda dalam respon reproduksi pada tingkat kontras cahaya, kelembaban, dan nutrisi, begitu pula kombinasi khusus level faktor ini (Gbr. 5).
Pola rumit plastisitas untuk hasil reproduksi ini dapat mempengaruhi kemampuan spesies untuk mempertahankan populasi yang ada dalam beragam kombinasi stress sumber daya di lapangan dan karenanya besar kemungkinannya akan mempengaruhi distribusi ekologis dalam cara spesifik (Sultan 2001).
Bersama dengan keanekaragaman pola plastisitas untuk hasil reproduktif total, spesies dapat berbeda dalam efek lingkungan kontras pada sifat penting ekologis dari keturunan individual, seperti kuantitas dan kualitas persediaan biji. Persediaan yang disimpan oleh tanaman maternal dalam biji mentenagai akar awal dan ekstensi pucuk benih dan karenanya mendasar bagi kelangsungan dan keberhasilannya (Roach dan Wulff 1987 dan referensinya). Meningkatkan persediaan memperkuat kemungkinan keberhasilan setiap keturunan, khususnya dalam lokasi dengan tanah kering atau miskin nutrisi atau dengan kompetisi cahaya yang keras, dimana benih harus menghasilkan akar atau sistem pucuk yang panjang untuk mendapatkan akses yang cukup pada sumber daya (Thompson dan Hodgkinson 1998 dan referensinya). Dalam spesies tertentu, tanaman lapar sumber daya menunjjukkan plastisitas adaptif pada ukuran dan kualitas keturunan dengan memperbesar persediaan pada tiap biji yang mereka hasilkan (Donohue dan Schmitt 1998 serta referensinya). Begitu juga, pada spesies lainnya tanaman induk dapat merespon pada stress lingkungan spesifik dengan menghasilkan keturunan yang lebih kecil dan lebih sedikit (sebuah respon yang memperburuk efek negatif kebugaran dari jumlah keturunan yang berkurang dengan mengurangi kemungkinan sukses tiap keturunan; Sultan 1996).
Tergantung pada bagaimana perubahan persediaan positif dan negatif ini mempengaruhi pertumbuhan dan kesuksesan reproduksi keturunan, spesies berbeda dalam aspek lintas generasi plastisitas ini dapat secara signifikan mempengaruhi perkembangan benih dalam habitat tertentu dan akibatnya membentuk distribusi ekologis spesies (Sultan 2001). Sebagai contoh, karena P. hydropiper terbatas pada habitat yang sangat lembab dimana congener nya hidup baik di daerah lembab dan kering (Sultan et al. 1998), kami tertarik mengetahui apakah efek lintas generasi tanah kering pada P. hydropiper berbeda dari efek pada spesies Polygonum lainnya. Kami menemukan kalau tanaman yang terkena stress kekeringan P. hydropiper menghasilkan keturunan yang lebih kecil dan tidak memiliki persediaan yang baik daripada tanaman induk yang identik secara genetik dan diairi dengan baik, sementara individual dengan stress kekeringan dari P. persicaria, P. cespitosum, dan (pada keluasan yang lebih kecil) P. lapathifolium semuanya meningkatkan persediaan untuk menghasilkan keturunan individual yang lebih berat (Gbr. 6). Studi selanjutnya telah menunjukkan kalau efek lintas generasi kontras dalam penyediaan ini mengikuti perubahan spesifik pada morfologi benih, tingkat ekstensi akar, dan pertumbuhan total yang dapat mempengaruhi kesuksesan benih dalam lingkungan mereka sendiri (S. Elmendorf dan S. E. Sultan, data tidak dipublikasikan; K. Barton, S. E. Sultan, dan A. M. Wilczek, data tidak dipublikasikan). Sebagian besar yang tersisa untuk dipelajari mengenai aspek lintas generasi plastisitas tanaman ini dan keluasan yang dapat mempengaruhi adaptasi spesifik pada benih dalam lingkungan serupa dengan lingkungan induknya (Donohue dan Schmitt 1998; Sultan 2000 dan referensinya). Plastisitas lintas generasi adaptif denikian dapat menjadi faktor ekologis signifikan dalam tanaman yang tersebar oleh gravitasi seperti Polygonum dan organisme lainnya dimana keturunannya tetap dekat dengan induknya di awal atau sepanjang hidup.
KESIMPULAN
Di dunia nyata, perkembangan organisme (seperti aspek lain dari fenotipe mereka, seperti fisiologi dan perilaku) dibentuk dan dimodulasi dalam respon pada lingkungan. Variasi dalam ekspresi fenotipik ini memiliki konsekuensi ekologis besar, yang hingga kini telah dipelajari dengan baik pada tanaman. Respon perkembangan tanaman penting secara ekologis pada lingkungan termasuk penyetelan spesifikpada alokasi jaringan proporsional, morfologi dan anatomi yang bersesuaian, sifat dinamis seperti pengiriman akar dan ontogeni, komponen reproduksi, dan efek lintas generasi pada sifat keturunan. Tentu saja, organisme adalah sistem perkembangan terintegrasi,dan respon-respon ini tidak independen. Sebuah stress lingkungan tertentu dapat memicu sekumpulan perubahan plastis yang memuat beberapa aspek perkembangan, seperti “sindrom penghindaran bayangan” (Smith dan Whitelam 1997), yang memuat alokasi yang diubah, peninggian batang, pengurangan ranting, dan percepatan reproduksi.
Lebih jauh, plastisitas ditunjukkan awal dalam ontogeni dapat menjadi kendala plastisitas perkembangan untuk aspek lain fenotipe pada waktu mendatang selama hidup (Weinig dan Delph 2001).
Studi-studi norma reaksi komparatif pada genus Polygonum menunjukkan baik versalitas yang hebat pada perkembangan individual maupun keanekaragaman pola respon untuk sifat yang bermaknasecara ekologis yang dapat mengkarakteristik individual spesies kongenerik. Walau spesies yang dekat kekerabatannya dapat memiliki pola plastisitas yang sama untuk sifat tertentu, mereka juga berbeda dalam jumlah, arah dan penentuan waktu respon plastis pada petunjuk lingkungan yang diberikan. Karena pola respon ini spesifik pada faktor lingkungan tertentu dan memang pada kombinasi tingkat faktor tertentu, mereka mempengaruhi aspek tertentu toleransi lingkungan dan karenanya persebaran di lapangan.
Karena itu, perbedaan antara taksa dalam pola plastisitas perkembangan dapat menjadi sebuah aspek penting dari keanekaragaman adaptif yang menyumbang pada kesempitan atau kelebaran ekologis mereka.